Laman

Minggu, 18 Maret 2012

Lidahmu Sudah Tidak Tajam Lagi (Sebuah Tinjauan Tentang Budaya Pragmatis)

Tulisan ini bukan bermaksud menggurui tapi hanya semata curhat penulis atas penomena belakangan ini. Semoga tulisan ini bisa menjadi bahan renungan bersama untuk masa depan yang lebih baik.

Yah,,,lidahmu sudah tidak tajam lagi. Kalimat ini terinspirasi dari sebuah judul film documenter “Garammu Sudah Tidak Asin Lagi”. Artikel ini sengaja saya tulis sebagai bentuk keprihatinan saya atas berbagai penomena yang belakangan ini kerap mencuat. Mungkin bagi sebagian orang hal ini adalah sesuatu yang tidak sesuatu, namun bagi saya hal ini merupakan sebuah masalah yang apabila tidak digubris dan tidak dihiraukan maka akan menimbulkan sebuah keadaan yang sangat tidak diinginkan dan menjadi budaya yang sangat buruk.

Jujur ketika menulis artikel ini aku merasa bingung harus memulainya dari mana. Setelah berfikir cukup lama aku memutuskan untuk memulainya dari sebuah pengalaman pribadi yang beberapa minggu lalu aku alami. Pagi itu seperti biasa aku mengikuti perkuliahan, sebelumnya perkenalkan saat ini aku berkuliah di salah satu perguruan tinggi negeri tersohor di Banjarmasin. Hari itu aku kembali dikejutkan dengan gonjang-ganjing jurusan yang tidak jelas statusnya. Bagiku hal tersebut bukanlah masalah yang perlu ditanggapi berlebihan, toh aku sudah terbiasa dengan info-info miring tersebut. Namun, oleh kawan-kawanku yang terbakar emosi dan atas dasar kebersamaan aku-pun ikut serta larut dalam lautan emosi tanpa batas. Dalam waktu terbatas kamipun membentuk sebuah forum yang mana dalam forum tersebut kami bersama-sama menolak kebijakan yang ditawarkan sepihak oleh salah seorang oknum dosen. Singkat kata, sesuai kesepakatan forum saya diamanatkan sebagai juru bicara dalam menyampaikan aspirasi keberatan. Dengan dibantu beberapa orang yang katanya “ahli” bicara akupun menyampaikan sejumlah poin keberatan. Tampak tidak ada yang aneh dalam hal ini, semua berjalan sesuai dengan rencana.
Setelah beberapa hari permasalahan muncul, dari sekian orang yang turut andil dalam kesepakatan forum tersebut, ada beberapa oknum yang mengingkari dan parahnya mereka menyerang balik dengan mendukung kebijakan yang menurut saya sangat tidak rasional. Padahal sebelumnya sudah menjadi kesepakatan bahwa apa yang dirumuskan harus dijalani bersama. Saya bukannya berprasangka (Prejudice) namun kalau begini adanya sama saja artinya dengan musuh dalam selimut, bermain minyak di atas air dan sebagainya.
Dari pengalaman pribadi di atas ada beberapa hal yang menarik untuk dikaji secara intens. Sebuah pepatah mengatakan ‘lidah bagaikan pedang’, saya sendiri menafsirkannya kepada beberapa pengertian, antara lain dengan lidah orang dapat membunuh satu sama lain, dapat juga diartikan lidah merupakan sesuatu yang sangat tajam yang apabila disalah gunakan maka akan melukai diri sendiri atau orang lain. Dewasa ini orang sering menggunakan ketajaman lidahnya hanya untuk suatu hal yang kurang bermanfaat, menggunjing, mengumpat, memfitnah, berbohong dan lain sebaginya. Dikalangan politik lidah digunakan untuk saling membanggakan diri maupun kelompok namun yang paling parah ada yang menggunakan untuk saling menjatuhkan dan saling menghujat. Ironis memang, namun itulah faktanya. Seperti permasalahan di atas orang dengan mudah mengatakan “A” namun secara aplikatif di lapangan “B”, lalu esensi ketajaman lidah itu dimana ?. kalau kita melakukan proses regresi islam, ini merupakan hal yang jauh melenceng dari nilai-nilai akhlak islamiah.
Kalau kita telaah lebih dalam hal ini akan menimbulkan efek domino. mahasiswa yang seharusnya menjadi agen perubahan hari ini suaranya tidak di dengar lagi. Ini karena budaya pragmatis dan apatis yang sudah mulai merasuk dan menggeser idealism mahasiswa. Mahasiswa hanya bicara ketika ada sebuah kepentingan, iming-iming dan lain-lain. Ketika saatnya mahasiswa menjadi juru kemudi pemerintahan maka kebiasaan ini akan berlanjut, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan akan jauh dari keadilan…na’uzubillah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar